Sabtu, 09 Juni 2012

Humaniora Batak

Tahul-tahul alias kantong semar dengan bahasa latinnya Nepenthes spp; sering kita temukan pada perjalanan ke Onansau (Kecamatan Nassau sekarang*), ditepi bukit-bukit jalan Paridian hingga sampai ke Nassau kita akan meyaksikannya dan teman-teman yang dari Lumbanruhap, Sipagabu, Tornagodang, Lumban rau, dan daerah lainnya dihabinsaran juga pasti pernah menemukan atau melihatnya. Di daerah Humbahas tumbuhan ini juga banyak ditemukan, mis.: Pakkat Sitio-Tio, Sosor Gonting, Bakara, dan Dolok Sanggul.

Pada masa kecil dulu tumbuhan ini tidak memiliki manfaat apa-apa cuma sekedar bisa dibuat mainan pelipur lara pada saat capek diperjalan. Apabila kita ingin membasmi semut, lalat, dan kecoak di rumah? Pelihara saja kantong semar. Tanaman pemangsa serangga ini agaknya menjadi cara alami yang ampuh membasmi semua serangga pengganggu, sekaligus mempercantik rumah dengan penampilannya yang unik. Nepenthes sangat unik karena berbeda dengan tanaman hias yang sering dijadikan koleksi. Bukan tanpa alasan jika tahul-tahul - begitu sebutan di sebagian Sumatera - digemari. Penampilan tanaman pemakan serangga itu memang impresif. Dari ujung daun, keluar kantong yang punya bentuk dan corak beragam. Tanaman yang termasuk dalam golongan carnivorous plant (tumbuhan pemangsa) ini bersama amorphophallus, rafflesia, dan lainnya dikategorikan sebagai tanaman hias unik.


 Kantong semar tergolong ke dalam tumbuhan liana (merambat), berumah dua, serta bunga jantan dan betina terpisah pada individu yang berbeda. Tumbuhan ini hidup di tanah, ada juga yang menempel pada batang atau ranting pohon lain sebagai epifit.

Keunikan dari tumbuhan ini adalah bentuk, ukuran, dan corak warna kantongnya. Sebenarnya kantong tersebut adalah ujung daun yang berubah bentuk dan fungsinya menjadi perangkap serangga atau binatang kecil lainnya.

Nepenthes memang belum sepopuler tanaman hias lainnya seperti anggrek, mawar, dan sebagainya. Walaupun, namanya sudah dikenal di mancanegara bahkan beberapa negara telah berhasil membudidayakan, seperti Thailand dan Belanda, dan telah mendapatkan devisa yang cukup besar dari nepenthes, dinegeri asalnya Indonesia tanaman pemangsa ini, keberadaannya tidak ada yang memperhatikan, sayang sekali ternyata kita belum begitu perhatian dengan potensi daerah kita.

Kematian, Kekristenan, dan Budaya Batak

1. DULU DAN SEKARANG

Kultur Batak pra-kristen memberikan perhatian yang sangat besar kepada peristiwa kematian. Menurut nenek moyang orang Batak ada berjenis-jenis kematian yang menunjukkan status sosial seseorang (yang terkait erat dengan konsepsi kesuburan/ hagabeon): mati sewaktu kanak-kanak, mati sewaktu remaja/ pemuda (mate ponggol, mate matipul), mati sesudah menikah namun tanpa anak (mate punu), mati sesudah menikah dengan anak masih kecil (mate mangkar), mati sesudah bercucu (mate sari matua), mati sesudah bercucu dari semua anak-anaknya (mate saur matua) dan puncaknya mati sesudah bercicit dan berbuyut (saur matua bulung).
Bagi kita orang yang beriman Kristen makna kematian ini adalah sama: yakni akhir hidup di dunia dan jalan untuk menghadap Tuhan. Sebab itu sebagai orang Kristen kita wajib menaruh penghormatan dan kasih yang tinggi juga kepada orang yang mati muda.
2. SOLIDARITAS DAN KOMUNALITAS

Mengapa kita harus berusaha hadir dalam peristiwa kematian seorang anggota keluarga atau kerabat? Pertama-tama: tentu hendak menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih dulu mati tersebut. Kedua: menunjukkan rasa hormat dan kasih kepada orang yang ditinggalkan. Ketiga: mengingatkan diri kita bahwa suatu saat kelak kita juga harus mati. Secara khusus ritus-ritus atau acara di sekitar kematian merupakan tanda solidaritas (kesetiakawanan) kita dengan orang yang ditinggalkan. Kehadiran seluruh kelompok adat dan mandok hata yang berderet-deret dalam peristiwa kematian juga seharusnya diartikan sebagai tanda solidaritas dengan orang yang sedang berduka.

Kehadiran dalam peristiwa kematian adalah suatu tanda solidaritas dan kebersamaan: bahwa seorang yang sedang berduka tidak boleh dibiarkan sendirian menanggung bebannya. Dia harus ditemani dalam kedukaannya. Memang ada umpama pitu batu martindi sada do na tumaon na dokdok. Tetapi beban yang berat itu hendak dikurangi dan dibagi-bagikan kepada banyak orang.



3. ULOS TUJUNG DAN SAPUT


Kultur Batak mengenal ulos tujung, yaitu ulos yang diberikan hula-hula kepada seorang perempuan yang kematian suami atau menjadi janda. Ulos itu, sesuai namanya, dikerudungkan ke atas kepala si perempuan, sebagai tanda kejandaan atau bahwa “kepalanya sudah terputus” (maponggol ulu). Pada jaman dahulu tidak ada acara membuka tujung sesudah pemakaman (kecuali si janda hendak menikah lagi). Ulos tujung itu selalu dikenakan lagi oleh semua janda dalam even-even kematian yang lain, sehingga sering memberi kesan menggetarkan bagi orang yang melihatnya. Berhubung
sebelum datangnya kekristenan orang Batak masih bersifat poligami (banyak istri) maka di beberapa wilayah ulos tujung tidak diberikan kepada laki-laki yang kematian istri.

Sebagai komunitas Kristen-Batak kita dapat menerima tradisi ulos tujung ini sebagai simbol tanggungjawab yang berat (peran orangtua tunggal) yang dibebankan kepada seorang perempuan yang kematian suami. (Bagi perempuan yang sudah lanjut usia dan bercucu biasanya tidak lagi disebut ulos tujung, tetapi ulos sampetua).

Selain ulos tujung, kultur Batak juga mengenal ulos saput, yaitu ulos yang diberikan tulang untuk membungkus jenazah keponakannya. Kita komunitas Kristen-Batak sekarang mengartikan ulos saput ini adalah tanda perpisahan atau ungkapan kasih terakhir kalinya dari Tulang kepada bere/ ibaberenya yang sudah meninggal. Namun dalam pemberian ulos saput ini kita harus menyadari bahwa pada hakikatnya orang mati adalah urusan dan tanggungjawab Tuhan dan kita tidak bisa lagi berkomunikasi dengan orang yang sudah mati itu. Tentu saja kita percaya dan mengaku bahwa Kristus lah satu-satunya yang menyelamatkan kita dan membungkus jiwa kita dengan darahNya yang kudus, namun kita boleh saja menerima tanda kasih dari sesama manusia, termasuk tentu dari Tulang.

4. ONDA-ONDA, SIJAGARAON / SANGGUL MARATA
Kultur Batak menganggap kematian seorang tua yang sudah bercucu (sari matua) dan bercicit (saur matua) sebagai suatu peristiwa besar yang patut disyukuri. Tidak lagi banyak kesedihan di sana. Dalam kematian orangtua tersebut semua keturunannya akan menari (manortor) gembira dengan iringan gondang atau musik tiup (perkembangan kemudian). Kita sebagai orang Kristen bisa menerima tradisi ini dengan beberapa catatan. Iman kekristenan menolak kebiasaan agama lama menimba atau mencedok tuah atau berkat dari orang mati. Sebab itu ketika mangondasi (menari di sekeliling mayat) orang tua kita perlu tetap mengarahkan hati kepada Tuhan Yesus Kristus yang mati dan bangkit itu.

Catatan: dalam manortor kita harus mewaspadai agar mengubah simbol-simbol gerakan tubuh sewaktu manortor. Antara lain: jangan menggerakkan tangan dari arah mayat ke diri sendiri ibarat orang menimba atau mencedok air untuk minum yang biasa digunakan oleh orang Batak pra-Kristen sebagai simbol mengambil (mencedok) tuah atau berkat dari orang mati.

Sebagai tanda kebesaran dari orang tua yang sudah meninggal dunia biasa dipasang sijagaron atau sanggul marata (mahkota segar) dari daun beringin (simbol kesuburan) dan padi (simbol kekayaan) dll. Sebagai komunitas Kristen-Batak kita harus memberi makna baru kepada sanggul marata ini, yaitu sebagai tanda syukur dan persembahan kepada Tuhan yang telah memberikan umur panjang dan berkat kepada orangtua yang meninggal dunia dan keluarganya. Untuk memperkaya pemahaman itu mungkin dengan menambah simbol salib dan lilin di sanggul marata tersebut yang mengingatkan kita bahwa mahkota kehidupan hanya datang dari Allah dalam Yesus PutraNya kepada orang yang setia dalam imannya (Wahyu 3:11) dan api Roh Kudus yang membaharui hidup.

5. MANGONGKAL HOLI DOHOT MANANGKOKHON SARING-SARING

Kultur Batak pra-Kristen menganggap salah satu bentuk penghormatan kepada orangtua atau leluhur adalah dengan meninggikan posisi tulang-belulang (saring-saring) mereka di atas tanah, khususnya ke bukit yang tinggi dan batu yang keras. Panangkokhon saring-saring tu dolok-dolok na timbo tu batu na pir. Peninggian tulang-belulang ini biasanya dilakukan melalui upacara besar.

Ruhut Parmahanion Paminsangon (RPP) atau Hukum Penggembalaan dan Siasat HKBP mengatakan bahwa penggalian tulang-belulang (mangongkal holi) dimungkinkan karena beberapa alasan:

1. Kerusakan kuburan karena dimakan usia atau faktor alam (banjir, longsor).

2. Penggusuran kuburan karena pembebasan lahan untuk pembangunan jalan, waduk, industri dll.

3. Penyatuan tulang-belulang keluarga yang kuburannya terpisah-pisah.

Majelis Gereja harus mengetahui dan aktiv terlibat dalam acara penggalian tulang-belulang mulai dari menggali, menyimpan hingga memasukkan ke tempat yang baru. Bila lokasi antara kuburan yang lama dan baru berjauhan, maka tulang-belulang harus disimpan di gereja. Dalam proses menggali atau memasukkan tulang-belulang itu tidak boleh diiringi tortor dan gondang serta musik. Juga tidak berjalan Agenda Pemakaman. Majelis harus mengawasi tidak ada yang manortori, meratapi, memasukkan tulang-belulang ke ulos dan ampang/ piring, memberi sirih atau makanan, atau memasukkan batang pisang kelubang bekas penggalian.

6. TUGU

Gereja HKBP memang tidak melarang secara tegas anggota jemaat membangun tugu penghormatan kepada nenek moyang atau persatuan keluarga (marga, ompu) namun mengingatkan jemaat bahwa pembangunan tugu itu kurang berdampak bagi pembangunan kehidupan iman maupun ekonomi. Sebagai gantinya gereja HKBP menganjurkan jemaat membangun tugu yang fungsional atau hidup, seperti: sekolah, perpustakaan, poliklinik, jembatan, koperasi, komisi beasiswa dll. Gereja juga mengajak jemaat untuk selalu mengingat peristiwa kubur kosong karena Tuhan Yesus Kristus sudah bangkit dari antara orang mati. Tuhan ada di tengah-tengah realitas kehidupan. Kita juga tahu bahwa penampakan Yesus yang bangkit selalu di tengah kehidupan. Bahkan Maria Magdalena berjumpa dengan Yesus setelah ia membelakangi kubur kosong! Selanjutnya agar warga jemaat lebih dulu menyatakan kesatuan dalam Kristus dan Roh Kudus daripada kesatuan marga, luat, ompu dll.

7. ZIARAH

Kita harus mengkritisi tradisi berziarah dan membersihkan kuburan di kalangan komunitas Kristen-Batak. Iman kita mengatakan ada jurang yang tidak terseberangi yang memisahkan orang yang hidup dengan yang mati. Sebab itu kekristenan menolak setiap bentuk usaha untuk berhubungan kembali dengan orang mati, misalnya: memberi makan, meminta petunjuk, memohon berkat dari orang yang sudah mati tersebut. Kita sebaiknya menyadari kuburan bukanlah tempat yang ideal untuk berdoa. Tempat berdoa yang paling kondusif adalah rumah dan gereja. Tanda penghormatan kita kepada orangtua yang sudah meninggal bukanlah terutama membangun megah atau sering mengunjungi kuburannya tetapi dengan menghayati hidup yang benar dan baik sesuai firman Tuhan dan teladannya.

8. PENGAKUAN IMAN HKBP

Konfessi HKBP pasal 16 menyatakan: Kita percaya dan menyaksikan bahwa manusia satu kali mengalami kematian dan sesudah itu penghakiman. (Ibrani 9:27). Manusia yang telah mati itu beristirahat dari seluruh pekerjaannya (Wahyu 14:13). Yesus Kristus adalah Tuhan orang yang hidup maupun mati. Bila kita mengenang orang yang sudah meninggal, sebetulnya kita hendak menyadarkan diri kita sendiri akan ajal atau akhir hidup kita dan untuk meneguhkan pengharapan kita akan persekutuan orang-orang percaya dengan Allah serta untuk menguatkan hati kita berjuang dalam realitas hidup ini. (Wahyu 7:9-17). Dengan ajaran ini kita menolak dan melawan ajaran animisme yang mengatakan bahwa roh-roh (tondi) orang yang sudah mati masih dapat berhubungan atau berinteraksi dengan manusia. Kita juga menolak ajaran yang mendoakan orang yang sudah mati. Sebab orang yang sudah mati menjadi wewenang dan urusan Tuhan.

Aturan - Aturan dalam Pemberian Ulos


Seperti telah kita terangkan terdahulu, ulos mempu­nyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara Adat Batak. Tidak mungkin kita berbicara mengenai Adat Batak tanpa membicarakan ulos. Ulos, hiou, olis, abit godang atu uis kese­muanya adalah merupakan identitas orang Batak.
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada­ prinsipnya pihak Hula-hula lah yang memberikan kepada par­boru (dalam perkawinan). Sedangkan di wilayah Pakpak/Dairi dan Tapanuli Selatan pihak borulah yang memberikan ulos ke pada mora atau kula kula. Perbedaan spesifik ini bukanlah berarti mengurangi­ nilai dan makna suatu ulos dalam upacara adat. Di wilayah Toba misalnya yang berhak memberikan ulos ialah:
  1. Pihak Hula Hula (Mertua, Tulang, Bona Tulang, Bona ni ari dan Tulang rorobot).
  2. Pihak Dongan Tubu (Ayah, Saudara ayah, Kakek dan saudara pengantin dalam kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan).
  3. Pihak pariban (dalam urutan lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan).
Adapun mengenai ale-ale (teman sejawat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah di lu­ar tohonan Dalihan Natolu. Pemberian ale-ale sebaiknya benda apapun itu, diberikan dalam bentuk kado (dibungkus).
Dari uraian di atas jelas kelihatan bahwa yang ber­hak memberikan ulos adalah mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi (dalam urutan kekeluargaan) dari si pene­rima ulos. Dalam pesta kawin misalnya tata urutan pemberian u­adalah sebagai berikut:
  1. Mula mula yang memberikan ulos adalah orangtua pengantin perempuan.
  2. Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan, termasuk tulang rorobot.
  3. Kemudian menyusul pihak dongan sabutuha dari orangtua pengantin perempuan yang dalam hal ini dise­but paidua (pamarai).
  4. Kemudian disusul oleh pariban yaitu boru hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
  5. Baru yang terakhir adalah tulang pengantin la­ki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari par anak, dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari­ pihak par boru dan 1/3 dari par anak.
Bagian ini disampaikan oleh orangtua pengan­tin perempuan kepada Tulang si anak (pengantin laki-laki) Inilah yang disebut “tintin marangkup”.
TATA CARA PEMBERIAN ULOS
Menurut tata cara Adat Batak setiap orang akan me­nerima minimum 3 macam ulos dari mulai lahir sampai ak­hir hayatnya. Ulos inilah yang disebut ulos na marsintu­hu yang dapat digolongkan sebagai ulos ni tondi, menurut falsafah Dalihan Natolu.
Ketiganya ialah:
  • Yang pertama diterima sewaktu dia baru lahir. Sekarang ini dikenal dengan ulos parompa. Dahulu di­kenal dengan ulos mangalo alo tondi.
  • Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (perkawinan) yang diterima dalam bentuk ulos hela. Dahulu disebut ulos marjabu bagi kedua pengantin (laki dan perempuan).
  • Yang ketiga adalah ulos yang diterimanya sewaktu dia meninggalkan dunia yang fana (ulos saput). Kedudukan seorang yang meninggal menentukan jenis ulos yang diterimanya sebagai saput, tergantung pada saat mana dia neninggal.
Bila seorang meninggal dalam usia yang masih muda atau meninggal tanpa meninggalkan keturunan (mate hadia­ranna) maka kepadanya diberikan ulos yang disebut “ulos ­par olang-olangan”.
Bila dia meninggal dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil-kecil (sapsap mardum), bila laki-laki di sebut “matipul ulu”, bila perempuan disebut “marompas tataring” maka kepadanya diberi ulos saput.
Bila dia meninggal sari/saur matua maka dia men­dapat “ulos panggabei” yang diterima dari semua hula-hu­la baik hula-hulanya sendiri, hula-hula ni anak, maupun hula-hula cucunya. Biasanya ulos panggabei ini diterima oleh seluruh turunannya. Pada saat seperti inilah berja­lan ulos “JUGIA”. Sebagai catatan : maka sesuai dengan namanya “Ulos na so ra pipot” Ju­gia hanya dapat diberikan kepada orang tua yang turunan­nya belum ada yang meninggal (martilahu matua).
I. PADA WAKTU ANAK LAHIR
Bila anak lahir, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, apakah anak yang lahir tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua, apakah anak tersebut anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga.
Pada punt pertama, bila yang lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan anak sulung maka yang mampe goar disamping si anak, hanyalah orang tuanya saja (mar amani…).
Sedang bila anak tersebut adalah anak sulung dari seorang anak sulung pada satu keluarga maka yang mampe goar di samping si anak, juga ayah dan kakeknya (mar ama ni … dan Ompuni…).
Perlu diperhatikan pada gelar Ompu…Bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan si… maka gelar diperoleh itu diperoleh dari anak sulung perempuan (Ompung Bao).
Sedang bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar Ompu yang diterimanya berasal dari anak su­lung laki-laki (Ompung suhut).
Untuk punt pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan 2 buah ulos yaitu ulos parompa untuk si anak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya. Untuk si anak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri suri ganjang atau sito luntuho.
Untuk punt kedua hula hula harus menyediakan ulos sebanyak 3 buah, yaitu ulos parompa untuk anak, ulos par gomgom untuk ayah dan ulos bulang bulang untuk ompungnya. Seiring dengan pemberian ulos kata kata ini sering diucapkan sbb:
“Ucok (Tatap). Sadarion nunga pinuka goarmu. Sai anggiat ma goar mi goar marsarak, goar na mura jou jou on, hipas hipas ho mamboan. Dison pasahaton nami ma tu ho ulos pangiring, asa mangiring anak dohot boru ho sian on tu joloan on. Horas ma”.
Catatan: Bila acara mampe goar ulos yang diberi­kan harus dari jenis Bintang Maratur. Tapi bila hanya sekedar memberi ulos parompa boleh ulos mangiring.
Di hamu hela/boru nami. Mulai sadari on marbonsir naung pinungka goar ni buha baju muna, sadarion ­mulai mampe goar hamu mar amani dohot mar ina ni….Dison pasahaton nami ma tu hamu ulos suri su­ri ganjang, asa ganjang umurmu mamboan goar pang­goari ni pahompu i. Hata ni umpama ma dohonon na­mi :
Tubu ma hariara, di atas ni tor na di ginjang, lehet ma i borotan ni horbo si opat pusoran. Mantak goar si jou jou on ma i, hipas jala mariang, goar na mura jouon, dirgak bohi mamboan.”
Kakek/nenek: Di hamu Lae dohot ito. Dibagasan sa­ darion ditonga ni jabu na marsangap na martua on, ima jabu sigomgom pangisi na on marlas ni roha hita, ala nunga jumpang na ni luluan, tarida na ji­nalahan. Mulai sadari on mampe goar do hamu Lae, Ito, mar Ompuni… ala marbonsir sian goar ni pa­hompunta na ta pungka sadari on. Hupasahat hami ma tu hamu ulos ragi-idup songon patuduhon balga ni roha nami. Hata ni umpama do­henan nami di hamu:
Andor hadumpang ma togu togu ni lombu, Saur matua ma hamu Lae Ito, mambo an goar i huhut mangiring-iring pahompu.
Begitulah antara lain tata caranya dan mengenai ­pepatah petitih biasanya terdiri dari 3 buah.
II. PADA WAKTU PERKAWINAN
Dalam upacara perkawinan maka pihak hula hula ha­rus menyediakan ulos si tot ni pansa yaitu:
  1. Ulos marjabu (hela dohot boru).
  2. Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki.
  3. Ulos pamarai diberikan kepada Saudara yang le­bih tua dari Pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah.
  4. Ulos Simolohon diberikan kepada iboto pengan­tin laki-laki atau bila belum ada yang menikah kepada iboto ayahnya.
Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru di ampuan hanya bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan ­tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.
Sering kita lihat banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut ragi ragi ni sinamot. Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebagian dari sina­mot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama Batak disebut:
malo manapol - ingkon mananggal”
Umpasa ini mengandung pengertian orang Batak itu tidak mati terutang Adat. Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima golo goli dari ragi ragi ni sinamot. Ini berakibat timbulnya kedudukan yang­ tidak sepatutnya (mar goli-goli) sehingga yang pantas dapat digantikan oleh undangan umum (ale-ale). Dengan da­lih istilah ulos holong memberikan pula ulos kepada Pe­ngantin. Padahal istilah ulos holong adalah di luar versi Dalihan Natolu.
Binanga ni Sihombing ma, binongkak di Tara­bunga, Tu sanggar ma amporik, tu lubang ma satua, sai sinur ma na pinahan, gabe na ni u1a.
Setelah diulosi kemudian dijemput sedikit beras (boras si pir ni tondi) ditaburkan baik kepada umum dengan mengucapkan “HORAS” tiga ka1i.
Kemudian menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki (wakilnya). Umpasa berikut sering disampaikan seiring dengan pemberian ulos :
Jongjong do hami dison lae, ito, pasahathon sada u1os na margoar ulos pansamot tu hamu siala naung hujalo hami sinamotmu, marbonsir diulaonta sada rion. Jala laos on ma ito, lae ulos pargomgom asa mu1ai sadarion, gomgomonmu ma anakmu dohot parumaen mu”.
Songon nidok ni umpasa ma :
manginsir ma sidohar, di uma ni Palipi, tu deak nama hamu marpinompar, jala bagasmu sitorop pangisi. Andor hudumpang ma togu togu ni lombu, sai saur matua ma hamu, Lae-ito, huhut mangiring iring pahompu.
Songon panutup ito :
Sahat sahat ni solu ma sahat tu bonte­an, nunga saut maksud dohot tahinta, sai sahat ma tu parhorasan, sahat panggabean.
Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos (si tot ni pansa) kepada pamarai dan simolohon. pemberian ulos ini biasa­nya diwakilkan kepada suhut paidua. Setelah ulos ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang laki-laki di­sebut ulos panggabei. Ini dilaksanakan setelah acara pemberian “tintin marangkup”.
III. ULOS PADA UPACARA KEMATIAN
Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberi­kan pada seseorang ialah ulos yang diterimanya pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat kematian seseorang me­nentukan jenis ulos yang dapat diterimanya. Jika seorang mati muda (mate hadiaranna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang disebut ulos “parolang olangan dan biasanya dari jenis parompa. Bila seorang meninggal sesu­dah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka ­kepadanya diberikan ulos saput dan yang tinggal (balu, janda) diberikan ulos tujung. Sedang bila orang mati sari/saur matua maka kepadanya diberikan ulos “panggabei”.
Khusus tentang ulos Saput dan tujung perlu dite­gaskan tentang pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak Tulang sebagai bukti bah­wa tulang masih tetap ada hubungannya dengan berenya. Sedang ulos tujung diberikan oleh pihak Hula-Hula. Ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah. Tata Cara Pemberiannya :
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga), ­maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga maka setelah hula hula mendapat/mendengar kabar tentang ini, maka di­sediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak Tulang menyediakan ulos saput.
Pada waktu pemberian saput dari Tulang:
Dison bere hupasahat hami dope sada ulos tu songon saput ni dagingmu, ulos parpudi laho mnopot sambulom. Songon tanda do on na dohot hami mar habot ni roha di halalaom. Pabulus roham, topot ma ingananmu rap dohot Tuhanta patulus pardalanmu”.
Kemudian pihak Hula Hula memberikan tujung:
Sadarion (ito, hela) pasahaton nami do tuho ulos tujung. Beha bahenon (ito, hela), nunga songoni ­huroha bagianmu, marbahir siubeonmu, sambor ni­pim mabalu ho. Alani i unduk ma panailim marnida halak, patoru ma dirim marningot Tuhan. Songon ­nidok ni umpasama dohonon nami” :
Hotang binebe bebe, hotang pinulos-pulos, Unang iba mandele, ai godang do tudos-tudos.
Setelah beberapa hari berselang maka dilanjutkan dengan acara mengungkap tujung yang dilakukan oleh pihak Hula ­Hula. Mengenai waktunya tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula menyediakan beras dipiring, air bersih mencuci muka dari air putih satu gelas. Acara di­buat pada waktu pagi (parnangkok ni mata ni ari). Kata-kata ini mengiringi acara tersebut :
Sadarion ungkapon nami ma tujung on sian simanjujungmu. Asa ungkap na ari matiur, ungkap silas ­ni roha tu hamu di joloanon, Husuapi ma (dainang/helangku) asa bolong sude ilu ilum, na mambahen­ golap panailim”.
Sai bagot na ma dungdung ma tu pilo-pilo na marajar, sai mago ma na lungun tu joloanon, ro ma na jagar.
Dison muse nek sitio-tio inum (dainang, laengku) ma on, sai tio ma panggabean, tio parhorasan di hamu tu joloan on. Huhut dison boras si pir ni tondi, sai pir ma nang tondim ;
Martantan ma baringin, marurat jabi jabi, horas ma tondi madingin, tumpakon ni Mulajadi.
Beras kemudian dijemput lalu ditaburkan di atas kepala sebanyak tiga kali. Biasanya seluruh anak yang ditinggal si mati dicuci mukanya dan ditaburkan beras di atas ke­palanya.
Dahulu kepada si pemberi ulos biasanya diberikan ­piso piso sebagai panggarar adat. Sekarang ini sering­diganti dengan uang.
MEMBERI ULOS PANGGABEI
Bila seorang orang tua yang sari/saur matua me­ninggal dunia, maka seluruh hula hula akan memberi ulos yang disebut ulos panggabei. Dan biasanya ulos ini ti­dak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu dan cicit).
Kata kata berikut mengiringi pemberian ulos ter­sebut :
Di hamu pomparan ni Lae nami (Amang boru) on. Di son hupasahat hami tu hamu, sada ulos panggabei. Ulos on ulos panggabei, Sai mangulosi panggabean ma on, mangulosi parhorason, mangulosi daging do hot tondimu hamu sude pomparan ni Lae (amang bo­ru) on. Horas ma dihita sude …”
Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula hula mulai dari hula hula, bona tulang, bona niari dan seluruh hula hula anaknya maupun hula hula cucunya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini mema­kan waktu yang sangat lama dan biaya yang cukup besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar