Tahul-tahul
alias kantong semar dengan bahasa latinnya Nepenthes spp; sering kita
temukan pada perjalanan ke Onansau (Kecamatan Nassau sekarang*), ditepi
bukit-bukit jalan Paridian hingga sampai ke Nassau kita akan
meyaksikannya dan teman-teman yang dari Lumbanruhap, Sipagabu,
Tornagodang, Lumban rau, dan daerah lainnya dihabinsaran juga pasti
pernah menemukan atau melihatnya. Di daerah Humbahas tumbuhan ini juga
banyak ditemukan, mis.: Pakkat Sitio-Tio, Sosor Gonting, Bakara, dan
Dolok Sanggul.
Pada masa kecil dulu tumbuhan ini tidak memiliki manfaat apa-apa cuma sekedar bisa dibuat mainan pelipur lara pada saat capek diperjalan. Apabila kita ingin membasmi semut, lalat, dan kecoak di rumah? Pelihara saja kantong semar. Tanaman pemangsa serangga ini agaknya menjadi cara alami yang ampuh membasmi semua serangga pengganggu, sekaligus mempercantik rumah dengan penampilannya yang unik. Nepenthes sangat unik karena berbeda dengan tanaman hias yang sering dijadikan koleksi. Bukan tanpa alasan jika tahul-tahul - begitu sebutan di sebagian Sumatera - digemari. Penampilan tanaman pemakan serangga itu memang impresif. Dari ujung daun, keluar kantong yang punya bentuk dan corak beragam. Tanaman yang termasuk dalam golongan carnivorous plant (tumbuhan pemangsa) ini bersama amorphophallus, rafflesia, dan lainnya dikategorikan sebagai tanaman hias unik.
Pada masa kecil dulu tumbuhan ini tidak memiliki manfaat apa-apa cuma sekedar bisa dibuat mainan pelipur lara pada saat capek diperjalan. Apabila kita ingin membasmi semut, lalat, dan kecoak di rumah? Pelihara saja kantong semar. Tanaman pemangsa serangga ini agaknya menjadi cara alami yang ampuh membasmi semua serangga pengganggu, sekaligus mempercantik rumah dengan penampilannya yang unik. Nepenthes sangat unik karena berbeda dengan tanaman hias yang sering dijadikan koleksi. Bukan tanpa alasan jika tahul-tahul - begitu sebutan di sebagian Sumatera - digemari. Penampilan tanaman pemakan serangga itu memang impresif. Dari ujung daun, keluar kantong yang punya bentuk dan corak beragam. Tanaman yang termasuk dalam golongan carnivorous plant (tumbuhan pemangsa) ini bersama amorphophallus, rafflesia, dan lainnya dikategorikan sebagai tanaman hias unik.
Kantong
semar tergolong ke dalam tumbuhan liana (merambat), berumah dua, serta
bunga jantan dan betina terpisah pada individu yang berbeda. Tumbuhan
ini hidup di tanah, ada juga yang menempel pada batang atau ranting
pohon lain sebagai epifit.
Keunikan dari tumbuhan ini adalah bentuk, ukuran, dan corak warna kantongnya. Sebenarnya kantong tersebut adalah ujung daun yang berubah bentuk dan fungsinya menjadi perangkap serangga atau binatang kecil lainnya.
Nepenthes memang belum sepopuler tanaman hias lainnya seperti anggrek, mawar, dan sebagainya. Walaupun, namanya sudah dikenal di mancanegara bahkan beberapa negara telah berhasil membudidayakan, seperti Thailand dan Belanda, dan telah mendapatkan devisa yang cukup besar dari nepenthes, dinegeri asalnya Indonesia tanaman pemangsa ini, keberadaannya tidak ada yang memperhatikan, sayang sekali ternyata kita belum begitu perhatian dengan potensi daerah kita.
Keunikan dari tumbuhan ini adalah bentuk, ukuran, dan corak warna kantongnya. Sebenarnya kantong tersebut adalah ujung daun yang berubah bentuk dan fungsinya menjadi perangkap serangga atau binatang kecil lainnya.
Nepenthes memang belum sepopuler tanaman hias lainnya seperti anggrek, mawar, dan sebagainya. Walaupun, namanya sudah dikenal di mancanegara bahkan beberapa negara telah berhasil membudidayakan, seperti Thailand dan Belanda, dan telah mendapatkan devisa yang cukup besar dari nepenthes, dinegeri asalnya Indonesia tanaman pemangsa ini, keberadaannya tidak ada yang memperhatikan, sayang sekali ternyata kita belum begitu perhatian dengan potensi daerah kita.
Kematian, Kekristenan, dan Budaya Batak
1. DULU DAN SEKARANG
Mengapa kita harus berusaha hadir dalam peristiwa kematian seorang anggota keluarga atau kerabat? Pertama-tama: tentu hendak menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih dulu mati tersebut. Kedua: menunjukkan rasa hormat dan kasih kepada orang yang ditinggalkan. Ketiga: mengingatkan diri kita bahwa suatu saat kelak kita juga harus mati. Secara khusus ritus-ritus atau acara di sekitar kematian merupakan tanda solidaritas (kesetiakawanan) kita dengan orang yang ditinggalkan. Kehadiran seluruh kelompok adat dan mandok hata yang berderet-deret dalam peristiwa kematian juga seharusnya diartikan sebagai tanda solidaritas dengan orang yang sedang berduka.
3. ULOS TUJUNG DAN SAPUT
Kultur Batak mengenal ulos tujung, yaitu ulos yang diberikan hula-hula kepada seorang perempuan yang kematian suami atau menjadi janda. Ulos itu, sesuai namanya, dikerudungkan ke atas kepala si perempuan, sebagai tanda kejandaan atau bahwa “kepalanya sudah terputus” (maponggol ulu). Pada jaman dahulu tidak ada acara membuka tujung sesudah pemakaman (kecuali si janda hendak menikah lagi). Ulos tujung itu selalu dikenakan lagi oleh semua janda dalam even-even kematian yang lain, sehingga sering memberi kesan menggetarkan bagi orang yang melihatnya. Berhubung
sebelum datangnya kekristenan orang Batak masih bersifat poligami (banyak istri) maka di beberapa wilayah ulos tujung tidak diberikan kepada laki-laki yang kematian istri.
4. ONDA-ONDA, SIJAGARAON / SANGGUL MARATA
Kultur Batak menganggap kematian seorang tua yang sudah bercucu (sari matua) dan bercicit (saur matua) sebagai suatu peristiwa besar yang patut disyukuri. Tidak lagi banyak kesedihan di sana. Dalam kematian orangtua tersebut semua keturunannya akan menari (manortor) gembira dengan iringan gondang atau musik tiup (perkembangan kemudian). Kita sebagai orang Kristen bisa menerima tradisi ini dengan beberapa catatan. Iman kekristenan menolak kebiasaan agama lama menimba atau mencedok tuah atau berkat dari orang mati. Sebab itu ketika mangondasi (menari di sekeliling mayat) orang tua kita perlu tetap mengarahkan hati kepada Tuhan Yesus Kristus yang mati dan bangkit itu.
Catatan: dalam manortor kita harus mewaspadai agar mengubah simbol-simbol gerakan tubuh sewaktu manortor. Antara lain: jangan menggerakkan tangan dari arah mayat ke diri sendiri ibarat orang menimba atau mencedok air untuk minum yang biasa digunakan oleh orang Batak pra-Kristen sebagai simbol mengambil (mencedok) tuah atau berkat dari orang mati.
Sebagai tanda kebesaran dari orang tua yang sudah meninggal dunia biasa dipasang sijagaron atau sanggul marata (mahkota segar) dari daun beringin (simbol kesuburan) dan padi (simbol kekayaan) dll. Sebagai komunitas Kristen-Batak kita harus memberi makna baru kepada sanggul marata ini, yaitu sebagai tanda syukur dan persembahan kepada Tuhan yang telah memberikan umur panjang dan berkat kepada orangtua yang meninggal dunia dan keluarganya. Untuk memperkaya pemahaman itu mungkin dengan menambah simbol salib dan lilin di sanggul marata tersebut yang mengingatkan kita bahwa mahkota kehidupan hanya datang dari Allah dalam Yesus PutraNya kepada orang yang setia dalam imannya (Wahyu 3:11) dan api Roh Kudus yang membaharui hidup.
5. MANGONGKAL HOLI DOHOT MANANGKOKHON SARING-SARING
Kultur Batak pra-Kristen menganggap salah satu bentuk penghormatan kepada orangtua atau leluhur adalah dengan meninggikan posisi tulang-belulang (saring-saring) mereka di atas tanah, khususnya ke bukit yang tinggi dan batu yang keras. Panangkokhon saring-saring tu dolok-dolok na timbo tu batu na pir. Peninggian tulang-belulang ini biasanya dilakukan melalui upacara besar.
Ruhut Parmahanion Paminsangon (RPP) atau Hukum Penggembalaan dan Siasat HKBP mengatakan bahwa penggalian tulang-belulang (mangongkal holi) dimungkinkan karena beberapa alasan:
1. Kerusakan kuburan karena dimakan usia atau faktor alam (banjir, longsor).
2. Penggusuran kuburan karena pembebasan lahan untuk pembangunan jalan, waduk, industri dll.
3. Penyatuan tulang-belulang keluarga yang kuburannya terpisah-pisah.
Majelis Gereja harus mengetahui dan aktiv terlibat dalam acara penggalian tulang-belulang mulai dari menggali, menyimpan hingga memasukkan ke tempat yang baru. Bila lokasi antara kuburan yang lama dan baru berjauhan, maka tulang-belulang harus disimpan di gereja. Dalam proses menggali atau memasukkan tulang-belulang itu tidak boleh diiringi tortor dan gondang serta musik. Juga tidak berjalan Agenda Pemakaman. Majelis harus mengawasi tidak ada yang manortori, meratapi, memasukkan tulang-belulang ke ulos dan ampang/ piring, memberi sirih atau makanan, atau memasukkan batang pisang kelubang bekas penggalian.
6. TUGU
Gereja HKBP memang tidak melarang secara tegas anggota jemaat membangun tugu penghormatan kepada nenek moyang atau persatuan keluarga (marga, ompu) namun mengingatkan jemaat bahwa pembangunan tugu itu kurang berdampak bagi pembangunan kehidupan iman maupun ekonomi. Sebagai gantinya gereja HKBP menganjurkan jemaat membangun tugu yang fungsional atau hidup, seperti: sekolah, perpustakaan, poliklinik, jembatan, koperasi, komisi beasiswa dll. Gereja juga mengajak jemaat untuk selalu mengingat peristiwa kubur kosong karena Tuhan Yesus Kristus sudah bangkit dari antara orang mati. Tuhan ada di tengah-tengah realitas kehidupan. Kita juga tahu bahwa penampakan Yesus yang bangkit selalu di tengah kehidupan. Bahkan Maria Magdalena berjumpa dengan Yesus setelah ia membelakangi kubur kosong! Selanjutnya agar warga jemaat lebih dulu menyatakan kesatuan dalam Kristus dan Roh Kudus daripada kesatuan marga, luat, ompu dll.
7. ZIARAH
Kita harus mengkritisi tradisi berziarah dan membersihkan kuburan di kalangan komunitas Kristen-Batak. Iman kita mengatakan ada jurang yang tidak terseberangi yang memisahkan orang yang hidup dengan yang mati. Sebab itu kekristenan menolak setiap bentuk usaha untuk berhubungan kembali dengan orang mati, misalnya: memberi makan, meminta petunjuk, memohon berkat dari orang yang sudah mati tersebut. Kita sebaiknya menyadari kuburan bukanlah tempat yang ideal untuk berdoa. Tempat berdoa yang paling kondusif adalah rumah dan gereja. Tanda penghormatan kita kepada orangtua yang sudah meninggal bukanlah terutama membangun megah atau sering mengunjungi kuburannya tetapi dengan menghayati hidup yang benar dan baik sesuai firman Tuhan dan teladannya.
8. PENGAKUAN IMAN HKBP
Konfessi HKBP pasal 16 menyatakan: Kita percaya dan menyaksikan bahwa manusia satu kali mengalami kematian dan sesudah itu penghakiman. (Ibrani 9:27). Manusia yang telah mati itu beristirahat dari seluruh pekerjaannya (Wahyu 14:13). Yesus Kristus adalah Tuhan orang yang hidup maupun mati. Bila kita mengenang orang yang sudah meninggal, sebetulnya kita hendak menyadarkan diri kita sendiri akan ajal atau akhir hidup kita dan untuk meneguhkan pengharapan kita akan persekutuan orang-orang percaya dengan Allah serta untuk menguatkan hati kita berjuang dalam realitas hidup ini. (Wahyu 7:9-17). Dengan ajaran ini kita menolak dan melawan ajaran animisme yang mengatakan bahwa roh-roh (tondi) orang yang sudah mati masih dapat berhubungan atau berinteraksi dengan manusia. Kita juga menolak ajaran yang mendoakan orang yang sudah mati. Sebab orang yang sudah mati menjadi wewenang dan urusan Tuhan.
Kultur
Batak pra-kristen memberikan perhatian yang sangat besar kepada
peristiwa kematian. Menurut nenek moyang orang Batak ada berjenis-jenis
kematian yang menunjukkan status sosial seseorang (yang terkait
erat dengan konsepsi kesuburan/ hagabeon): mati sewaktu kanak-kanak,
mati sewaktu remaja/ pemuda (mate ponggol, mate matipul), mati sesudah
menikah namun tanpa anak (mate punu), mati sesudah menikah dengan anak
masih kecil (mate mangkar), mati sesudah bercucu (mate sari matua), mati
sesudah bercucu dari semua anak-anaknya (mate saur matua) dan puncaknya
mati sesudah bercicit dan berbuyut (saur matua bulung).
Bagi kita orang yang beriman Kristen makna kematian ini adalah sama: yakni akhir hidup di dunia dan jalan untuk menghadap Tuhan. Sebab itu sebagai orang Kristen kita wajib menaruh penghormatan dan kasih yang tinggi juga kepada orang yang mati muda.
Bagi kita orang yang beriman Kristen makna kematian ini adalah sama: yakni akhir hidup di dunia dan jalan untuk menghadap Tuhan. Sebab itu sebagai orang Kristen kita wajib menaruh penghormatan dan kasih yang tinggi juga kepada orang yang mati muda.
2. SOLIDARITAS DAN KOMUNALITAS
Mengapa kita harus berusaha hadir dalam peristiwa kematian seorang anggota keluarga atau kerabat? Pertama-tama: tentu hendak menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih dulu mati tersebut. Kedua: menunjukkan rasa hormat dan kasih kepada orang yang ditinggalkan. Ketiga: mengingatkan diri kita bahwa suatu saat kelak kita juga harus mati. Secara khusus ritus-ritus atau acara di sekitar kematian merupakan tanda solidaritas (kesetiakawanan) kita dengan orang yang ditinggalkan. Kehadiran seluruh kelompok adat dan mandok hata yang berderet-deret dalam peristiwa kematian juga seharusnya diartikan sebagai tanda solidaritas dengan orang yang sedang berduka.
Kehadiran
dalam peristiwa kematian adalah suatu tanda solidaritas dan
kebersamaan: bahwa seorang yang sedang berduka tidak boleh dibiarkan
sendirian menanggung bebannya. Dia harus ditemani dalam kedukaannya.
Memang ada umpama pitu batu martindi sada do na tumaon na dokdok. Tetapi
beban yang berat itu hendak dikurangi dan dibagi-bagikan kepada banyak
orang.
3. ULOS TUJUNG DAN SAPUT
Kultur Batak mengenal ulos tujung, yaitu ulos yang diberikan hula-hula kepada seorang perempuan yang kematian suami atau menjadi janda. Ulos itu, sesuai namanya, dikerudungkan ke atas kepala si perempuan, sebagai tanda kejandaan atau bahwa “kepalanya sudah terputus” (maponggol ulu). Pada jaman dahulu tidak ada acara membuka tujung sesudah pemakaman (kecuali si janda hendak menikah lagi). Ulos tujung itu selalu dikenakan lagi oleh semua janda dalam even-even kematian yang lain, sehingga sering memberi kesan menggetarkan bagi orang yang melihatnya. Berhubung
sebelum datangnya kekristenan orang Batak masih bersifat poligami (banyak istri) maka di beberapa wilayah ulos tujung tidak diberikan kepada laki-laki yang kematian istri.
Sebagai
komunitas Kristen-Batak kita dapat menerima tradisi ulos tujung ini
sebagai simbol tanggungjawab yang berat (peran orangtua tunggal) yang
dibebankan kepada seorang perempuan yang kematian suami. (Bagi perempuan
yang sudah lanjut usia dan bercucu biasanya tidak lagi disebut ulos
tujung, tetapi ulos sampetua).
Selain ulos tujung, kultur Batak juga mengenal ulos saput, yaitu ulos yang diberikan tulang untuk membungkus jenazah keponakannya. Kita komunitas Kristen-Batak sekarang mengartikan ulos saput ini adalah tanda perpisahan atau ungkapan kasih terakhir kalinya dari Tulang kepada bere/ ibaberenya yang sudah meninggal. Namun dalam pemberian ulos saput ini kita harus menyadari bahwa pada hakikatnya orang mati adalah urusan dan tanggungjawab Tuhan dan kita tidak bisa lagi berkomunikasi dengan orang yang sudah mati itu. Tentu saja kita percaya dan mengaku bahwa Kristus lah satu-satunya yang menyelamatkan kita dan membungkus jiwa kita dengan darahNya yang kudus, namun kita boleh saja menerima tanda kasih dari sesama manusia, termasuk tentu dari Tulang.
Selain ulos tujung, kultur Batak juga mengenal ulos saput, yaitu ulos yang diberikan tulang untuk membungkus jenazah keponakannya. Kita komunitas Kristen-Batak sekarang mengartikan ulos saput ini adalah tanda perpisahan atau ungkapan kasih terakhir kalinya dari Tulang kepada bere/ ibaberenya yang sudah meninggal. Namun dalam pemberian ulos saput ini kita harus menyadari bahwa pada hakikatnya orang mati adalah urusan dan tanggungjawab Tuhan dan kita tidak bisa lagi berkomunikasi dengan orang yang sudah mati itu. Tentu saja kita percaya dan mengaku bahwa Kristus lah satu-satunya yang menyelamatkan kita dan membungkus jiwa kita dengan darahNya yang kudus, namun kita boleh saja menerima tanda kasih dari sesama manusia, termasuk tentu dari Tulang.
4. ONDA-ONDA, SIJAGARAON / SANGGUL MARATA
Kultur Batak menganggap kematian seorang tua yang sudah bercucu (sari matua) dan bercicit (saur matua) sebagai suatu peristiwa besar yang patut disyukuri. Tidak lagi banyak kesedihan di sana. Dalam kematian orangtua tersebut semua keturunannya akan menari (manortor) gembira dengan iringan gondang atau musik tiup (perkembangan kemudian). Kita sebagai orang Kristen bisa menerima tradisi ini dengan beberapa catatan. Iman kekristenan menolak kebiasaan agama lama menimba atau mencedok tuah atau berkat dari orang mati. Sebab itu ketika mangondasi (menari di sekeliling mayat) orang tua kita perlu tetap mengarahkan hati kepada Tuhan Yesus Kristus yang mati dan bangkit itu.
Catatan: dalam manortor kita harus mewaspadai agar mengubah simbol-simbol gerakan tubuh sewaktu manortor. Antara lain: jangan menggerakkan tangan dari arah mayat ke diri sendiri ibarat orang menimba atau mencedok air untuk minum yang biasa digunakan oleh orang Batak pra-Kristen sebagai simbol mengambil (mencedok) tuah atau berkat dari orang mati.
Sebagai tanda kebesaran dari orang tua yang sudah meninggal dunia biasa dipasang sijagaron atau sanggul marata (mahkota segar) dari daun beringin (simbol kesuburan) dan padi (simbol kekayaan) dll. Sebagai komunitas Kristen-Batak kita harus memberi makna baru kepada sanggul marata ini, yaitu sebagai tanda syukur dan persembahan kepada Tuhan yang telah memberikan umur panjang dan berkat kepada orangtua yang meninggal dunia dan keluarganya. Untuk memperkaya pemahaman itu mungkin dengan menambah simbol salib dan lilin di sanggul marata tersebut yang mengingatkan kita bahwa mahkota kehidupan hanya datang dari Allah dalam Yesus PutraNya kepada orang yang setia dalam imannya (Wahyu 3:11) dan api Roh Kudus yang membaharui hidup.
5. MANGONGKAL HOLI DOHOT MANANGKOKHON SARING-SARING
Kultur Batak pra-Kristen menganggap salah satu bentuk penghormatan kepada orangtua atau leluhur adalah dengan meninggikan posisi tulang-belulang (saring-saring) mereka di atas tanah, khususnya ke bukit yang tinggi dan batu yang keras. Panangkokhon saring-saring tu dolok-dolok na timbo tu batu na pir. Peninggian tulang-belulang ini biasanya dilakukan melalui upacara besar.
Ruhut Parmahanion Paminsangon (RPP) atau Hukum Penggembalaan dan Siasat HKBP mengatakan bahwa penggalian tulang-belulang (mangongkal holi) dimungkinkan karena beberapa alasan:
1. Kerusakan kuburan karena dimakan usia atau faktor alam (banjir, longsor).
2. Penggusuran kuburan karena pembebasan lahan untuk pembangunan jalan, waduk, industri dll.
3. Penyatuan tulang-belulang keluarga yang kuburannya terpisah-pisah.
Majelis Gereja harus mengetahui dan aktiv terlibat dalam acara penggalian tulang-belulang mulai dari menggali, menyimpan hingga memasukkan ke tempat yang baru. Bila lokasi antara kuburan yang lama dan baru berjauhan, maka tulang-belulang harus disimpan di gereja. Dalam proses menggali atau memasukkan tulang-belulang itu tidak boleh diiringi tortor dan gondang serta musik. Juga tidak berjalan Agenda Pemakaman. Majelis harus mengawasi tidak ada yang manortori, meratapi, memasukkan tulang-belulang ke ulos dan ampang/ piring, memberi sirih atau makanan, atau memasukkan batang pisang kelubang bekas penggalian.
6. TUGU
Gereja HKBP memang tidak melarang secara tegas anggota jemaat membangun tugu penghormatan kepada nenek moyang atau persatuan keluarga (marga, ompu) namun mengingatkan jemaat bahwa pembangunan tugu itu kurang berdampak bagi pembangunan kehidupan iman maupun ekonomi. Sebagai gantinya gereja HKBP menganjurkan jemaat membangun tugu yang fungsional atau hidup, seperti: sekolah, perpustakaan, poliklinik, jembatan, koperasi, komisi beasiswa dll. Gereja juga mengajak jemaat untuk selalu mengingat peristiwa kubur kosong karena Tuhan Yesus Kristus sudah bangkit dari antara orang mati. Tuhan ada di tengah-tengah realitas kehidupan. Kita juga tahu bahwa penampakan Yesus yang bangkit selalu di tengah kehidupan. Bahkan Maria Magdalena berjumpa dengan Yesus setelah ia membelakangi kubur kosong! Selanjutnya agar warga jemaat lebih dulu menyatakan kesatuan dalam Kristus dan Roh Kudus daripada kesatuan marga, luat, ompu dll.
7. ZIARAH
Kita harus mengkritisi tradisi berziarah dan membersihkan kuburan di kalangan komunitas Kristen-Batak. Iman kita mengatakan ada jurang yang tidak terseberangi yang memisahkan orang yang hidup dengan yang mati. Sebab itu kekristenan menolak setiap bentuk usaha untuk berhubungan kembali dengan orang mati, misalnya: memberi makan, meminta petunjuk, memohon berkat dari orang yang sudah mati tersebut. Kita sebaiknya menyadari kuburan bukanlah tempat yang ideal untuk berdoa. Tempat berdoa yang paling kondusif adalah rumah dan gereja. Tanda penghormatan kita kepada orangtua yang sudah meninggal bukanlah terutama membangun megah atau sering mengunjungi kuburannya tetapi dengan menghayati hidup yang benar dan baik sesuai firman Tuhan dan teladannya.
8. PENGAKUAN IMAN HKBP
Konfessi HKBP pasal 16 menyatakan: Kita percaya dan menyaksikan bahwa manusia satu kali mengalami kematian dan sesudah itu penghakiman. (Ibrani 9:27). Manusia yang telah mati itu beristirahat dari seluruh pekerjaannya (Wahyu 14:13). Yesus Kristus adalah Tuhan orang yang hidup maupun mati. Bila kita mengenang orang yang sudah meninggal, sebetulnya kita hendak menyadarkan diri kita sendiri akan ajal atau akhir hidup kita dan untuk meneguhkan pengharapan kita akan persekutuan orang-orang percaya dengan Allah serta untuk menguatkan hati kita berjuang dalam realitas hidup ini. (Wahyu 7:9-17). Dengan ajaran ini kita menolak dan melawan ajaran animisme yang mengatakan bahwa roh-roh (tondi) orang yang sudah mati masih dapat berhubungan atau berinteraksi dengan manusia. Kita juga menolak ajaran yang mendoakan orang yang sudah mati. Sebab orang yang sudah mati menjadi wewenang dan urusan Tuhan.
Aturan - Aturan dalam Pemberian Ulos
Seperti
telah kita terangkan terdahulu, ulos mempunyai nilai yang sangat
tinggi dalam upacara Adat Batak. Tidak mungkin kita berbicara mengenai
Adat Batak tanpa membicarakan ulos. Ulos, hiou, olis, abit godang atu
uis kesemuanya adalah merupakan identitas orang Batak.
Di
wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak
Hula-hula lah yang memberikan kepada parboru (dalam perkawinan).
Sedangkan di wilayah Pakpak/Dairi dan Tapanuli Selatan pihak borulah
yang memberikan ulos ke pada mora atau kula kula. Perbedaan spesifik ini
bukanlah berarti mengurangi nilai dan makna suatu ulos dalam upacara
adat. Di wilayah Toba misalnya yang berhak memberikan ulos ialah:
- Pihak Hula Hula (Mertua, Tulang, Bona Tulang, Bona ni ari dan Tulang rorobot).
- Pihak Dongan Tubu (Ayah, Saudara ayah, Kakek dan saudara pengantin dalam kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan).
- Pihak pariban (dalam urutan lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan).
Adapun
mengenai ale-ale (teman sejawat) yang sering kita lihat turut
memberikan ulos, sebenarnya adalah di luar tohonan Dalihan Natolu.
Pemberian ale-ale sebaiknya benda apapun itu, diberikan dalam bentuk
kado (dibungkus).
Dari uraian
di atas jelas kelihatan bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka
yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi (dalam urutan kekeluargaan)
dari si penerima ulos. Dalam pesta kawin misalnya tata urutan pemberian
uadalah sebagai berikut:
- Mula mula yang memberikan ulos adalah orangtua pengantin perempuan.
- Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan, termasuk tulang rorobot.
- Kemudian menyusul pihak dongan sabutuha dari orangtua pengantin perempuan yang dalam hal ini disebut paidua (pamarai).
- Kemudian disusul oleh pariban yaitu boru hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
- Baru yang terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari par anak, dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak par boru dan 1/3 dari par anak.
Bagian
ini disampaikan oleh orangtua pengantin perempuan kepada Tulang si
anak (pengantin laki-laki) Inilah yang disebut “tintin marangkup”.
TATA CARA PEMBERIAN ULOS
Menurut
tata cara Adat Batak setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos
dari mulai lahir sampai akhir hayatnya. Ulos inilah yang disebut ulos
na marsintuhu yang dapat digolongkan sebagai ulos ni tondi, menurut
falsafah Dalihan Natolu.
Ketiganya ialah:
- Yang pertama diterima sewaktu dia baru lahir. Sekarang ini dikenal dengan ulos parompa. Dahulu dikenal dengan ulos mangalo alo tondi.
- Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (perkawinan) yang diterima dalam bentuk ulos hela. Dahulu disebut ulos marjabu bagi kedua pengantin (laki dan perempuan).
- Yang ketiga adalah ulos yang diterimanya sewaktu dia meninggalkan dunia yang fana (ulos saput). Kedudukan seorang yang meninggal menentukan jenis ulos yang diterimanya sebagai saput, tergantung pada saat mana dia neninggal.
Bila
seorang meninggal dalam usia yang masih muda atau meninggal tanpa
meninggalkan keturunan (mate hadiaranna) maka kepadanya diberikan ulos
yang disebut “ulos par olang-olangan”.
Bila
dia meninggal dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil-kecil (sapsap
mardum), bila laki-laki di sebut “matipul ulu”, bila perempuan disebut
“marompas tataring” maka kepadanya diberi ulos saput.
Bila
dia meninggal sari/saur matua maka dia mendapat “ulos panggabei” yang
diterima dari semua hula-hula baik hula-hulanya sendiri, hula-hula ni
anak, maupun hula-hula cucunya. Biasanya ulos
panggabei ini diterima oleh seluruh turunannya. Pada saat seperti inilah
berjalan ulos “JUGIA”. Sebagai catatan : maka sesuai dengan namanya
“Ulos na so ra pipot” Jugia hanya dapat diberikan kepada orang tua yang
turunannya belum ada yang meninggal (martilahu matua).
I. PADA WAKTU ANAK LAHIR
Bila
anak lahir, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, apakah anak
yang lahir tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua, apakah anak
tersebut anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga.
Pada
punt pertama, bila yang lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang
ayah yang bukan anak sulung maka yang mampe goar disamping si anak,
hanyalah orang tuanya saja (mar amani…).
Sedang
bila anak tersebut adalah anak sulung dari seorang anak sulung pada
satu keluarga maka yang mampe goar di samping si anak, juga ayah dan
kakeknya (mar ama ni … dan Ompuni…).
Perlu
diperhatikan pada gelar Ompu…Bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan
si… maka gelar diperoleh itu diperoleh dari anak sulung perempuan
(Ompung Bao).
Sedang bilamana tidak
mendapat kata sisipan si… maka gelar Ompu yang diterimanya berasal dari
anak sulung laki-laki (Ompung suhut).
Untuk
punt pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan 2 buah ulos yaitu
ulos parompa untuk si anak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya.
Untuk si anak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk
ayahnya dapat diberikan ulos suri suri ganjang atau sito luntuho.
Untuk
punt kedua hula hula harus menyediakan ulos sebanyak 3 buah, yaitu ulos
parompa untuk anak, ulos par gomgom untuk ayah dan ulos bulang bulang
untuk ompungnya. Seiring dengan pemberian ulos kata kata ini sering diucapkan sbb:
“Ucok
(Tatap). Sadarion nunga pinuka goarmu. Sai anggiat ma goar mi goar
marsarak, goar na mura jou jou on, hipas hipas ho mamboan. Dison
pasahaton nami ma tu ho ulos pangiring, asa mangiring anak dohot boru ho
sian on tu joloan on. Horas ma”.
Catatan: Bila acara mampe goar ulos yang diberikan harus dari jenis Bintang Maratur. Tapi bila hanya sekedar memberi ulos parompa boleh ulos mangiring.
Di
hamu hela/boru nami. Mulai sadari on marbonsir naung pinungka goar ni
buha baju muna, sadarion mulai mampe goar hamu mar amani dohot mar ina
ni….Dison pasahaton nami ma tu hamu ulos suri suri ganjang, asa ganjang umurmu mamboan goar panggoari ni pahompu i. Hata ni umpama ma dohonon nami :
“Tubu
ma hariara, di atas ni tor na di ginjang, lehet ma i borotan ni horbo
si opat pusoran. Mantak goar si jou jou on ma i, hipas jala mariang,
goar na mura jouon, dirgak bohi mamboan.”
“Kakek/nenek: Di hamu Lae dohot ito. Dibagasan sa darion ditonga ni jabu na marsangap na martua
on, ima jabu sigomgom pangisi na on marlas ni roha hita, ala nunga
jumpang na ni luluan, tarida na jinalahan. Mulai sadari on mampe goar
do hamu Lae, Ito, mar Ompuni…
ala marbonsir sian goar ni pahompunta na ta pungka sadari on.
Hupasahat hami ma tu hamu ulos ragi-idup songon patuduhon balga ni roha
nami. Hata ni umpama dohenan nami di hamu:
Andor hadumpang ma togu togu ni lombu, Saur matua ma hamu Lae Ito, mambo an goar i huhut mangiring-iring pahompu.
Begitulah antara lain tata caranya dan mengenai pepatah petitih biasanya terdiri dari 3 buah.
II. PADA WAKTU PERKAWINAN
Dalam upacara perkawinan maka pihak hula hula harus menyediakan ulos si tot ni pansa yaitu:
- Ulos marjabu (hela dohot boru).
- Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki.
- Ulos pamarai diberikan kepada Saudara yang lebih tua dari Pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah.
- Ulos Simolohon diberikan kepada iboto pengantin laki-laki atau bila belum ada yang menikah kepada iboto ayahnya.
Adapun
ulos tutup ni ampang diterima oleh boru di ampuan hanya bila perkawinan
tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual).
Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki
(ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.
Sering
kita lihat banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga
keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut ragi ragi ni sinamot.
Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama Batak disebut:
“malo manapol - ingkon mananggal”
Umpasa ini mengandung pengertian orang Batak itu tidak mati terutang Adat. Tetapi
dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk
mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima golo goli dari
ragi ragi ni sinamot. Ini berakibat timbulnya kedudukan yang tidak
sepatutnya (mar goli-goli) sehingga yang pantas dapat digantikan oleh
undangan umum (ale-ale). Dengan dalih istilah ulos holong memberikan
pula ulos kepada Pengantin. Padahal istilah ulos holong adalah di luar versi Dalihan Natolu.
Binanga
ni Sihombing ma, binongkak di Tarabunga, Tu sanggar ma amporik, tu
lubang ma satua, sai sinur ma na pinahan, gabe na ni u1a.
Setelah
diulosi kemudian dijemput sedikit beras (boras si pir ni tondi)
ditaburkan baik kepada umum dengan mengucapkan “HORAS” tiga ka1i.
Kemudian menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki (wakilnya). Umpasa berikut sering disampaikan seiring dengan pemberian ulos :
“Jongjong
do hami dison lae, ito, pasahathon sada u1os na margoar ulos pansamot
tu hamu siala naung hujalo hami sinamotmu, marbonsir diulaonta sada
rion. Jala laos on ma ito, lae ulos pargomgom asa mu1ai sadarion, gomgomonmu ma anakmu dohot parumaen mu”.
Songon nidok ni umpasa ma :
“manginsir
ma sidohar, di uma ni Palipi, tu deak nama hamu marpinompar, jala
bagasmu sitorop pangisi. Andor hudumpang ma togu togu ni lombu, sai saur
matua ma hamu, Lae-ito, huhut mangiring iring pahompu.
Songon panutup ito :
Sahat sahat ni solu ma sahat tu bontean, nunga saut maksud dohot tahinta, sai sahat ma tu parhorasan, sahat panggabean.
Sesudah
itu berjalanlah pemberian ulos (si tot ni pansa) kepada pamarai dan
simolohon. pemberian ulos ini biasanya diwakilkan kepada suhut paidua.
Setelah ulos ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian
ulos dari tulang laki-laki disebut ulos panggabei. Ini dilaksanakan
setelah acara pemberian “tintin marangkup”.
III. ULOS PADA UPACARA KEMATIAN
Ulos
yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan pada seseorang ialah ulos
yang diterimanya pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat kematian
seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya. Jika seorang
mati muda (mate hadiaranna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang
disebut ulos “parolang olangan dan biasanya dari jenis parompa. Bila
seorang meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring)
maka kepadanya diberikan ulos saput dan yang tinggal (balu, janda)
diberikan ulos tujung. Sedang bila orang mati sari/saur matua maka
kepadanya diberikan ulos “panggabei”.
Khusus
tentang ulos Saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya.
Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak Tulang sebagai
bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan berenya. Sedang
ulos tujung diberikan oleh pihak Hula-Hula. Ini penting untuk jangan
lagi terulang pemberian yang salah. Tata Cara Pemberiannya :
Bila
yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga), maka tidak ada acara
pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga
maka setelah hula hula mendapat/mendengar kabar tentang ini, maka
disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak Tulang menyediakan
ulos saput.
Pada waktu pemberian saput dari Tulang:
“Dison
bere hupasahat hami dope sada ulos tu songon saput ni dagingmu, ulos
parpudi laho mnopot sambulom. Songon tanda do on na dohot hami mar habot
ni roha di halalaom. Pabulus roham, topot ma ingananmu rap dohot
Tuhanta patulus pardalanmu”.
Kemudian pihak Hula Hula memberikan tujung:
“Sadarion (ito, hela) pasahaton nami do tuho ulos tujung. Beha bahenon (ito, hela), nunga songoni huroha bagianmu, marbahir siubeonmu, sambor nipim mabalu ho. Alani i unduk ma panailim marnida halak, patoru ma dirim marningot Tuhan. Songon nidok ni umpasama dohonon nami” :
Hotang binebe bebe, hotang pinulos-pulos, Unang iba mandele, ai godang do tudos-tudos.
Setelah
beberapa hari berselang maka dilanjutkan dengan acara mengungkap tujung
yang dilakukan oleh pihak Hula Hula. Mengenai waktunya tergantung
kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula
menyediakan beras dipiring, air bersih mencuci muka dari air putih satu
gelas. Acara dibuat pada waktu pagi (parnangkok ni mata ni ari).
Kata-kata ini mengiringi acara tersebut :
“Sadarion
ungkapon nami ma tujung on sian simanjujungmu. Asa ungkap na ari
matiur, ungkap silas ni roha tu hamu di joloanon, Husuapi ma
(dainang/helangku) asa bolong sude ilu ilum, na mambahen golap
panailim”.
“Sai bagot na ma dungdung ma tu pilo-pilo na marajar, sai mago ma na lungun tu joloanon, ro ma na jagar.
Dison
muse nek sitio-tio inum (dainang, laengku) ma on, sai tio ma
panggabean, tio parhorasan di hamu tu joloan on. Huhut dison boras si
pir ni tondi, sai pir ma nang tondim ;
Martantan ma baringin, marurat jabi jabi, horas ma tondi madingin, tumpakon ni Mulajadi.
Beras
kemudian dijemput lalu ditaburkan di atas kepala sebanyak tiga kali.
Biasanya seluruh anak yang ditinggal si mati dicuci mukanya dan
ditaburkan beras di atas kepalanya.
Dahulu kepada si pemberi ulos biasanya diberikan piso piso sebagai panggarar adat. Sekarang ini seringdiganti dengan uang.
MEMBERI ULOS PANGGABEI
Bila
seorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh
hula hula akan memberi ulos yang disebut ulos panggabei. Dan biasanya
ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada
seluruh turunannya (anak, pahompu dan cicit).
Kata kata berikut mengiringi pemberian ulos tersebut :
“Di hamu pomparan ni Lae nami (Amang boru) on. Di
son hupasahat hami tu hamu, sada ulos panggabei. Ulos on ulos
panggabei, Sai mangulosi panggabean ma on, mangulosi parhorason,
mangulosi daging do hot tondimu hamu sude pomparan ni Lae (amang boru)
on. Horas ma dihita sude …”
Biasanya
ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula hula mulai dari hula hula,
bona tulang, bona niari dan seluruh hula hula anaknya maupun hula hula
cucunya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini memakan waktu yang sangat lama dan biaya yang cukup besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar