Seperti
telah kita terangkan terdahulu, ulos mempunyai nilai yang sangat
tinggi dalam upacara Adat Batak. Tidak mungkin kita berbicara mengenai
Adat Batak tanpa membicarakan ulos. Ulos, hiou, olis, abit godang atu
uis kesemuanya adalah merupakan identitas orang Batak.
Di
wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak
Hula-hula lah yang memberikan kepada parboru (dalam perkawinan).
Sedangkan di wilayah Pakpak/Dairi dan Tapanuli Selatan pihak borulah
yang memberikan ulos ke pada mora atau kula kula. Perbedaan spesifik ini
bukanlah berarti mengurangi nilai dan makna suatu ulos dalam upacara
adat. Di wilayah Toba misalnya yang berhak memberikan ulos ialah:
Pihak Hula Hula (Mertua, Tulang, Bona Tulang, Bona ni ari dan Tulang rorobot).
Pihak
Dongan Tubu (Ayah, Saudara ayah, Kakek dan saudara pengantin dalam
kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan).
Pihak pariban (dalam urutan lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan).
Adapun
mengenai ale-ale (teman sejawat) yang sering kita lihat turut
memberikan ulos, sebenarnya adalah di luar tohonan Dalihan Natolu.
Pemberian ale-ale sebaiknya benda apapun itu, diberikan dalam bentuk
kado (dibungkus).
Dari uraian
di atas jelas kelihatan bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka
yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi (dalam urutan kekeluargaan)
dari si penerima ulos. Dalam pesta kawin misalnya tata urutan pemberian
uadalah sebagai berikut:
Mula mula yang memberikan ulos adalah orangtua pengantin perempuan.
Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan, termasuk tulang rorobot.
Kemudian menyusul pihak dongan sabutuha dari orangtua pengantin perempuan yang dalam hal ini disebut paidua (pamarai).
Kemudian disusul oleh pariban yaitu boru hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
Baru
yang terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya
diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari par anak,
dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak par boru dan 1/3
dari par anak.
Bagian
ini disampaikan oleh orangtua pengantin perempuan kepada Tulang si
anak (pengantin laki-laki) Inilah yang disebut “tintin marangkup”.
TATA CARA PEMBERIAN ULOS
Menurut
tata cara Adat Batak setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos
dari mulai lahir sampai akhir hayatnya. Ulos inilah yang disebut ulos
na marsintuhu yang dapat digolongkan sebagai ulos ni tondi, menurut
falsafah Dalihan Natolu.
Ketiganya ialah:
Yang pertama diterima sewaktu dia baru lahir. Sekarang ini dikenal dengan ulos parompa. Dahulu dikenal dengan ulos mangalo alo tondi.
Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (perkawinan) yang diterima dalam bentuk ulos hela. Dahulu disebut ulos marjabu bagi kedua pengantin (laki dan perempuan).
Yang ketiga adalah
ulos yang diterimanya sewaktu dia meninggalkan dunia yang fana (ulos
saput). Kedudukan seorang yang meninggal menentukan jenis ulos yang
diterimanya sebagai saput, tergantung pada saat mana dia neninggal.
Bila
seorang meninggal dalam usia yang masih muda atau meninggal tanpa
meninggalkan keturunan (mate hadiaranna) maka kepadanya diberikan ulos
yang disebut “ulos par olang-olangan”.
Bila
dia meninggal dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil-kecil (sapsap
mardum), bila laki-laki di sebut “matipul ulu”, bila perempuan disebut
“marompas tataring” maka kepadanya diberi ulos saput.
Bila
dia meninggal sari/saur matua maka dia mendapat “ulos panggabei” yang
diterima dari semua hula-hula baik hula-hulanya sendiri, hula-hula ni
anak, maupun hula-hula cucunya. Biasanya ulos
panggabei ini diterima oleh seluruh turunannya. Pada saat seperti inilah
berjalan ulos “JUGIA”. Sebagai catatan : maka sesuai dengan namanya
“Ulos na so ra pipot” Jugia hanya dapat diberikan kepada orang tua yang
turunannya belum ada yang meninggal (martilahu matua).
I. PADA WAKTU ANAK LAHIR
Bila
anak lahir, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, apakah anak
yang lahir tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua, apakah anak
tersebut anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga.
Pada
punt pertama, bila yang lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang
ayah yang bukan anak sulung maka yang mampe goar disamping si anak,
hanyalah orang tuanya saja (mar amani…).
Sedang
bila anak tersebut adalah anak sulung dari seorang anak sulung pada
satu keluarga maka yang mampe goar di samping si anak, juga ayah dan
kakeknya (mar ama ni … dan Ompuni…).
Perlu
diperhatikan pada gelar Ompu…Bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan
si… maka gelar diperoleh itu diperoleh dari anak sulung perempuan
(Ompung Bao).
Sedang bilamana tidak
mendapat kata sisipan si… maka gelar Ompu yang diterimanya berasal dari
anak sulung laki-laki (Ompung suhut).
Untuk
punt pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan 2 buah ulos yaitu
ulos parompa untuk si anak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya.
Untuk si anak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk
ayahnya dapat diberikan ulos suri suri ganjang atau sito luntuho.
Untuk
punt kedua hula hula harus menyediakan ulos sebanyak 3 buah, yaitu ulos
parompa untuk anak, ulos par gomgom untuk ayah dan ulos bulang bulang
untuk ompungnya. Seiring dengan pemberian ulos kata kata ini sering diucapkan sbb:
“Ucok
(Tatap). Sadarion nunga pinuka goarmu. Sai anggiat ma goar mi goar
marsarak, goar na mura jou jou on, hipas hipas ho mamboan. Dison
pasahaton nami ma tu ho ulos pangiring, asa mangiring anak dohot boru ho
sian on tu joloan on. Horas ma”.
Catatan: Bila acara mampe goar ulos yang diberikan harus dari jenis Bintang Maratur. Tapi bila hanya sekedar memberi ulos parompa boleh ulos mangiring.
Di
hamu hela/boru nami. Mulai sadari on marbonsir naung pinungka goar ni
buha baju muna, sadarion mulai mampe goar hamu mar amani dohot mar ina
ni….Dison pasahaton nami ma tu hamu ulos suri suri ganjang, asa ganjang umurmu mamboan goar panggoari ni pahompu i. Hata ni umpama ma dohonon nami :
“Tubu
ma hariara, di atas ni tor na di ginjang, lehet ma i borotan ni horbo
si opat pusoran. Mantak goar si jou jou on ma i, hipas jala mariang,
goar na mura jouon, dirgak bohi mamboan.”
“Kakek/nenek: Di hamu Lae dohot ito. Dibagasan sa darion ditonga ni jabu na marsangap na martua
on, ima jabu sigomgom pangisi na on marlas ni roha hita, ala nunga
jumpang na ni luluan, tarida na jinalahan. Mulai sadari on mampe goar
do hamu Lae, Ito, mar Ompuni…
ala marbonsir sian goar ni pahompunta na ta pungka sadari on.
Hupasahat hami ma tu hamu ulos ragi-idup songon patuduhon balga ni roha
nami. Hata ni umpama dohenan nami di hamu:
Andor hadumpang ma togu togu ni lombu, Saur matua ma hamu Lae Ito, mambo an goar i huhut mangiring-iring pahompu.
Begitulah antara lain tata caranya dan mengenai pepatah petitih biasanya terdiri dari 3 buah.
II. PADA WAKTU PERKAWINAN
Dalam upacara perkawinan maka pihak hula hula harus menyediakan ulos si tot ni pansa yaitu:
Ulos marjabu (hela dohot boru).
Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki.
Ulos pamarai diberikan kepada Saudara yang lebih tua dari Pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah.
Ulos Simolohon diberikan kepada iboto pengantin laki-laki atau bila belum ada yang menikah kepada iboto ayahnya.
Adapun
ulos tutup ni ampang diterima oleh boru di ampuan hanya bila perkawinan
tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual).
Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki
(ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.
Sering
kita lihat banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga
keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut ragi ragi ni sinamot.
Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama Batak disebut:
“malo manapol - ingkon mananggal”
Umpasa ini mengandung pengertian orang Batak itu tidak mati terutang Adat. Tetapi
dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk
mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima golo goli dari
ragi ragi ni sinamot. Ini berakibat timbulnya kedudukan yang tidak
sepatutnya (mar goli-goli) sehingga yang pantas dapat digantikan oleh
undangan umum (ale-ale). Dengan dalih istilah ulos holong memberikan
pula ulos kepada Pengantin. Padahal istilah ulos holong adalah di luar versi Dalihan Natolu.
Binanga
ni Sihombing ma, binongkak di Tarabunga, Tu sanggar ma amporik, tu
lubang ma satua, sai sinur ma na pinahan, gabe na ni u1a.
Setelah
diulosi kemudian dijemput sedikit beras (boras si pir ni tondi)
ditaburkan baik kepada umum dengan mengucapkan “HORAS” tiga ka1i.
Kemudian menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki (wakilnya). Umpasa berikut sering disampaikan seiring dengan pemberian ulos :
“Jongjong
do hami dison lae, ito, pasahathon sada u1os na margoar ulos pansamot
tu hamu siala naung hujalo hami sinamotmu, marbonsir diulaonta sada
rion. Jala laos on ma ito, lae ulos pargomgom asa mu1ai sadarion, gomgomonmu ma anakmu dohot parumaen mu”.
Songon nidok ni umpasa ma :
“manginsir
ma sidohar, di uma ni Palipi, tu deak nama hamu marpinompar, jala
bagasmu sitorop pangisi. Andor hudumpang ma togu togu ni lombu, sai saur
matua ma hamu, Lae-ito, huhut mangiring iring pahompu.
Songon panutup ito :
Sahat sahat ni solu ma sahat tu bontean, nunga saut maksud dohot tahinta, sai sahat ma tu parhorasan, sahat panggabean.
Sesudah
itu berjalanlah pemberian ulos (si tot ni pansa) kepada pamarai dan
simolohon. pemberian ulos ini biasanya diwakilkan kepada suhut paidua.
Setelah ulos ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian
ulos dari tulang laki-laki disebut ulos panggabei. Ini dilaksanakan
setelah acara pemberian “tintin marangkup”.
III. ULOS PADA UPACARA KEMATIAN
Ulos
yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan pada seseorang ialah ulos
yang diterimanya pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat kematian
seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya. Jika seorang
mati muda (mate hadiaranna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang
disebut ulos “parolang olangan dan biasanya dari jenis parompa. Bila
seorang meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring)
maka kepadanya diberikan ulos saput dan yang tinggal (balu, janda)
diberikan ulos tujung. Sedang bila orang mati sari/saur matua maka
kepadanya diberikan ulos “panggabei”.
Khusus
tentang ulos Saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya.
Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak Tulang sebagai
bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan berenya. Sedang
ulos tujung diberikan oleh pihak Hula-Hula. Ini penting untuk jangan
lagi terulang pemberian yang salah. Tata Cara Pemberiannya :
Bila
yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga), maka tidak ada acara
pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga
maka setelah hula hula mendapat/mendengar kabar tentang ini, maka
disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak Tulang menyediakan
ulos saput.
Pada waktu pemberian saput dari Tulang:
“Dison
bere hupasahat hami dope sada ulos tu songon saput ni dagingmu, ulos
parpudi laho mnopot sambulom. Songon tanda do on na dohot hami mar habot
ni roha di halalaom. Pabulus roham, topot ma ingananmu rap dohot
Tuhanta patulus pardalanmu”.
Kemudian pihak Hula Hula memberikan tujung:
“Sadarion (ito, hela) pasahaton nami do tuho ulos tujung. Beha bahenon (ito, hela), nunga songoni huroha bagianmu, marbahir siubeonmu, sambor nipim mabalu ho. Alani i unduk ma panailim marnida halak, patoru ma dirim marningot Tuhan. Songon nidok ni umpasama dohonon nami” :
Hotang binebe bebe, hotang pinulos-pulos, Unang iba mandele, ai godang do tudos-tudos.
Setelah
beberapa hari berselang maka dilanjutkan dengan acara mengungkap tujung
yang dilakukan oleh pihak Hula Hula. Mengenai waktunya tergantung
kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula
menyediakan beras dipiring, air bersih mencuci muka dari air putih satu
gelas. Acara dibuat pada waktu pagi (parnangkok ni mata ni ari).
Kata-kata ini mengiringi acara tersebut :
“Sadarion
ungkapon nami ma tujung on sian simanjujungmu. Asa ungkap na ari
matiur, ungkap silas ni roha tu hamu di joloanon, Husuapi ma
(dainang/helangku) asa bolong sude ilu ilum, na mambahen golap
panailim”.
“Sai bagot na ma dungdung ma tu pilo-pilo na marajar, sai mago ma na lungun tu joloanon, ro ma na jagar.
Dison
muse nek sitio-tio inum (dainang, laengku) ma on, sai tio ma
panggabean, tio parhorasan di hamu tu joloan on. Huhut dison boras si
pir ni tondi, sai pir ma nang tondim ;
Martantan ma baringin, marurat jabi jabi, horas ma tondi madingin, tumpakon ni Mulajadi.
Beras
kemudian dijemput lalu ditaburkan di atas kepala sebanyak tiga kali.
Biasanya seluruh anak yang ditinggal si mati dicuci mukanya dan
ditaburkan beras di atas kepalanya.
Dahulu kepada si pemberi ulos biasanya diberikan piso piso sebagai panggarar adat. Sekarang ini seringdiganti dengan uang.
MEMBERI ULOS PANGGABEI
Bila
seorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh
hula hula akan memberi ulos yang disebut ulos panggabei. Dan biasanya
ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada
seluruh turunannya (anak, pahompu dan cicit).
Kata kata berikut mengiringi pemberian ulos tersebut :
“Di hamu pomparan ni Lae nami (Amang boru) on. Di
son hupasahat hami tu hamu, sada ulos panggabei. Ulos on ulos
panggabei, Sai mangulosi panggabean ma on, mangulosi parhorason,
mangulosi daging do hot tondimu hamu sude pomparan ni Lae (amang boru)
on. Horas ma dihita sude …”
Biasanya
ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula hula mulai dari hula hula,
bona tulang, bona niari dan seluruh hula hula anaknya maupun hula hula
cucunya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini memakan waktu yang sangat lama dan biaya yang cukup besar.